Fayakhun Andriadi,
Ketua DPD Partai Golkar DKI Jakarta, kembali menyoroti kebijakan pemerintah
yang akan melakukan impor alutsista. Jika dalam ulasan sebelumnya Fayakhun memaparkan berbagai
pertimbangan mengenai kebijakan impor yang dipandang merugikan negara, kali ini
ia juga memaparkan hal serupa. Namun, Fayakhun
memberi penguatan data.
Lewat akun kompasiana.com, ia menulis : “Kebijakan impor
alutsista jelas sangat melukai hati rakyat Indonesia. Pemerintah Indonesia
tidak dapat menutup mata dengan kondisi sejumlah perusahaan yang tergabung
dalam kelompok Badan Usaha Milik Negara Industri Pertahanan atau Industri
Strategis (BUMNIP/IS) kini meradang, karena kurang mendapat perhatian. Sayangnya
lagi, pemerintah Indonesia lebih banyak mengimpor produk-produk alutsistanya
dari perusahaan-perusahaan luar negeri.”
Fayakhun mencontohkan Pindad yang memproduksi senjata,
kendaraan tempur, dan amunisi. Ia lalu berkomentar : “Sementara tahun lalu
(2010) masih terjadi pembelian panser buatan Korea Selatan, dari sebuah perusahaan
alutsista Korea Selatan, yang belum pernah menjual 1 unit pun kepada angkatan
bersenjata Korea Selatan. Senjata masih banyak impor, dengan alasan untuk
kebutuhan pasukan khusus, peluru kaliber kecil pun masih ada yang impor,
padahal Pindad sudah terbukti mampu membuatnya. Padahal sebuah industri sangat
bergantung pada nilai keekonomisan dari suatu produk dan kontinuitas proses
produksi. Apabila tidak ada order, maka mesinproduksi yang menganggur akan
lebih cepat rusak sehingga harus tetap dirawat dan karyawan harus tetap digaji.”
Contoh berikutnya yang ditampilkan Fayakhun adalah PT.
Krakatau Steel (KS) yang memproduksi bahan-bahan keperluan untuk produksi
senjata PT Pindad yang juga kurang mendapat perhatian. “Terbukti peluru yang dihasilkan
Pindad itu belum semua komponennya bukan produksi dalam negeri, melainkan masih
terdapat kandungan impor. Kondisi ini jelas bukan tidak mampu dipenuhi PT KS,
namun karena keterbatasan anggaran yang dimiliki perusahaan serta dukungan
pemerintah yang sulit diharapkan, semuanya itu menjadikan sulit bagiindustri
kita untuk maju,” lanjut Fayakhun.
Contoh berikutnya adalah PT PAL yang juga tidak terurus oleh
pemerintah. Fayakhun menulis : “Tidak
jauh berbeda dengan dua saudaranya, perusahaan BUMNIP yang satu iniyakni PT PAL
juga mengalami kondisi yang sama. Bahkan sejak tahun 2007hingga 2009,
perusahaan ini terus menerus dirundung kerugian, sekalipunsecara grafik
menunjukkan menurun. Bila tadinya Rp 443 miliar, tahun 2008ruginya sudah
berkurang menjadi Rp 96 miliar, dan di tahun 2009 hanya Rp 30miliar.”
Dari berbagai data di atas, Fayakhun benar-benar berharap
pemerintah bisa memberi respon positif dalam upaya kemandirian BUMNIS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar