Selasa, 13 Juni 2017

Fayakhun Andriadi Kembali Soroti Impor Alutsista



Fayakhun Andriadi, Ketua DPD Partai Golkar DKI Jakarta, kembali menyoroti kebijakan pemerintah yang akan melakukan impor alutsista. Jika dalam ulasan sebelumnya Fayakhun memaparkan berbagai pertimbangan mengenai kebijakan impor yang dipandang merugikan negara, kali ini ia juga memaparkan hal serupa. Namun, Fayakhun memberi penguatan data.
Lewat akun kompasiana.com, ia menulis : “Kebijakan impor alutsista jelas sangat melukai hati rakyat Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak dapat menutup mata dengan kondisi sejumlah perusahaan yang tergabung dalam kelompok Badan Usaha Milik Negara Industri Pertahanan atau Industri Strategis (BUMNIP/IS) kini meradang, karena kurang mendapat perhatian. Sayangnya lagi, pemerintah Indonesia lebih banyak mengimpor produk-produk alutsistanya dari perusahaan-perusahaan luar negeri.”
Fayakhun mencontohkan Pindad yang memproduksi senjata, kendaraan tempur, dan amunisi. Ia lalu berkomentar : “Sementara tahun lalu (2010) masih terjadi pembelian panser buatan Korea Selatan, dari sebuah perusahaan alutsista Korea Selatan, yang belum pernah menjual 1 unit pun kepada angkatan bersenjata Korea Selatan. Senjata masih banyak impor, dengan alasan untuk kebutuhan pasukan khusus, peluru kaliber kecil pun masih ada yang  impor, padahal Pindad sudah terbukti mampu membuatnya. Padahal sebuah industri sangat bergantung pada nilai keekonomisan dari suatu produk dan kontinuitas proses produksi. Apabila tidak ada order, maka mesinproduksi yang menganggur akan lebih cepat rusak sehingga harus tetap dirawat dan karyawan harus tetap digaji.”
Contoh berikutnya yang ditampilkan Fayakhun adalah PT. Krakatau Steel (KS) yang memproduksi bahan-bahan keperluan untuk produksi senjata PT Pindad yang juga kurang mendapat perhatian. “Terbukti peluru yang dihasilkan Pindad itu belum semua komponennya bukan produksi dalam negeri, melainkan masih terdapat kandungan impor. Kondisi ini jelas bukan tidak mampu dipenuhi PT KS, namun karena keterbatasan anggaran yang dimiliki perusahaan serta dukungan pemerintah yang sulit diharapkan, semuanya itu menjadikan sulit bagiindustri kita untuk maju,” lanjut Fayakhun.
Contoh berikutnya adalah PT PAL yang juga tidak terurus oleh pemerintah. Fayakhun menulis :  “Tidak jauh berbeda dengan dua saudaranya, perusahaan BUMNIP yang satu iniyakni PT PAL juga mengalami kondisi yang sama. Bahkan sejak tahun 2007hingga 2009, perusahaan ini terus menerus dirundung kerugian, sekalipunsecara grafik menunjukkan menurun. Bila tadinya Rp 443 miliar, tahun 2008ruginya sudah berkurang menjadi Rp 96 miliar, dan di tahun 2009 hanya Rp 30miliar.”
Dari berbagai data di atas, Fayakhun benar-benar berharap pemerintah bisa memberi respon positif dalam upaya kemandirian BUMNIS.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar