Jumat, 16 Juni 2017

Fayakhun Andriadi, Anak Ideologis dan Biologis Golkar



Fayakhun Andriadi merupakan anak ideologis dan biologis Golkar. Berasal dari keluarga pendiri Golkar, tidak serta merta sang anak dari keluarga pendiri melabuhkan pilihan politiknya kepada Partai Golkar. Ada banyak sekali contoh pasca reformasi, beberapa anak pendiri Partai Golkar malah memilih partai selain Partai Golkar sebagai kendaraan politiknya. Bukan hanya itu, mereka yang tercatat sebagai punggawa Partai Golkar pun mengalihkan kemudi politiknya kepada partai lain atau bahkan mendirikan partai baru.
Konstelasi politik yang banyak berubah pasca reformasi telah memberikan pilihan politik yang sangat beragam kepada anak bangsa. Pelabuhan bagi Fayakhun Andriadi politik tidak lagi sebatas pada Partai Golkar, PDI Perjuangan, ataupun PPP. Ada banyak partai baru bermunculan dan menjanjikan jabatan strategis. Beberapa tokoh politik baru pun dengan cepat bermunculan dari partai-partai baru.
Fayakhun Andriadi merupakan anak pendiri Golkar. Ayahnya Ir. Haditirto Djoyodirdjo, adalah pendiri Golkar Jawa Tengah dan juga tokoh Golkar Nasional. Ir. Haditirto menjadi anggota DPR RI tahun 1968 s/d 1987 dan menjadi pimpinan Fraksi Partai Golkar. Tahun 1987 – 1992 menjadi anggota MPR RI dan menjabat Sekretaris Fraksi partai Golkar.
Fayakhun Andriadi lahir di Semarang, 24 Agustus 1972. Anak keempat dari lima bersaudara. Diantara kelima bersaudara tersebut, cuma Fayakhun yang terjun ke politik praktis.
Meski merupakan anak pendiri Golkar, Fayakhun Andriadi tidak serta merta menjatuhkan pilihan politik pada Partai Golkar. Dia memutuskan bergabung dengan Partai Golkar pada tahun 2002 setelah melalui tiga tahapan kontemplasi yang sangat panjang.
Tahapan kontemplasi pertama pada saat Fayakhun memiliki KTP.  “Ketika sudah punya KTP, saya merasa sudah jadi warga negara dewasa,” ujar Fayakhun Andriadi. Pada saat itu timbul kesadaran politik baru dalam pikirannya: peduli politik atau tidak peduli politik. “Kalau saya tidak peduli politik, kemudian negeri ini salah urus, bangkrut, dan sejenisnya, saya hanya bisa meratapi,” imbuh Fayakhun Andriadi.  Pada titik itu kemudian dia memutuskan “peduli politik”.
“Saya ini anak muda. Sebagai anak bangsa, saya harus peduli politik. Saya tidak mau hanya jadi penonton. Tapi saya ingin ikut andil. Jika negara ini salah urus maka saya ikut bertanggung jawab. Tetapi jika Negara ini maju maka saya juga bertanggung jawab,” ujarnya Fayakhun Andriadi.
Pikiran peduli politik Fayakhun Andriadi pada waktu umur 17 tahunan  itu masih sebatas dalam konteks kepentingan kebangsaan secara umum. Itu belum mengantarkan dia untuk mencatatkan diri menjadi anggota salah satu partai yang ada pada saat itu.
Setelah memutuskan peduli politik, maka Fayakhun Andriadi masuk pada tahap kontemplasi berikutnya. Saluran tertinggi dalam politik adalah ikut partai politik. Pada tahap ini muncul lagi pertimbangan baru dalam rasionya: saya ini harus ikut partai apa? Proses penentuan untuk ikut partai politik “apa” ini berlangsung sangat lama hingga era reformasi muncul. Partai-partai pun bermunculan. Sebagai anak tokoh politik, ditambah kondisi ekonominya yang sudah sangat mapan, tawaran dari banyak partai pun datang kepadanya.
“Saya ini mau ikut partai kecil, dan langsung jadi kepala teri, atau saya ikut partai besar jadi buntut ikan hiu, atau buntut naga,” denyut pikirnya. Pertimbangan itu terus dibawanya, hingga pada akhirnya, sekitar tahun 2002, Fayakhun Andriadi memutuskan untuk bergabung dengan partai besar dengan pertimbangan,
“Untuk apa saya jadi kepala teri kalau akhirnya ukurannya hanya sebesar teri. Artinya, saya cepat puas, cepat senang, tetapi sebetulnya tempaannya atau penggodokannya tidak maksimal. Ga apa-apa saya jadi buntut naga tetapi disitu saya ditempa, digodok, sehingga ketika suatu ketika saya jadi kepala naga, maka itu pasti sudah melalui tempaan luar biasa dan itu pasti tangguh.” Ujar Fayakhun Andriadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar